Citra

CITRA

Citra, engkaulah bayangan
waktu subuh mendatang!
Citra, kau gelisah malam
dalam kabut suram …..

Kau dekap malam kelam
pelukan penghabisan
Kau singkap tirai kabur
dan selubung …..
Tenggelam kau jumpai
di dalam riba malam
Kau buka pagi baru,
senja nyawamu…..

Citra, kau bayangan abadi
Dalam kabut fajar …..

Lagu: Cornel Simandjuntak
Syair: Usmar Isma’il

 

Citraaaaaaa!

Engkaulah bayangan….

Awal syair untuk lagu “Citra” itu saya tengok dari skenario film Tjitra karya Usmar Isma’il, yang terbit sebagai buku pada Maret 1950 melalui Usaha Penerbitan Gapura. Mula-mula Citra saya kira nama tokoh. Namun setelah membolak-balik buku dengan identitas “roman” itu, tak ada yang bernama Citra, melainkan bahwa lagu “Citra” berkali dibawakan dengan piano, sebagai bentuk ekspresi salah seorang tokohnya. Syairnya pun tidak menunjuk seorang tokoh, melainkan suatu konsep. 

Jadi setelah “bayangan waktu subuh mendatang”, Citra adalah juga “gelisah malam dalam kabut suram”; sesuatu yang dapat berlaku seperti “kau dekap malam kelam pelukan penghabisan” maupun “kau singkap tirai kabur dan selubung”, dan juga “tenggelam kau jumpai di dalam riba malam” serta “kau buka pagi baru, senja nyawamu…”. Lantas ditegaskan bahwa Citra adalah “bayangan abadi, dalam kabut fajar”.

Artinya, Citra adalah penamaan untuk suatu proses—dalam hal ini proses sebuah visualisasi (bayangan, suram, kabur, kabut) yang meskipun timbul-tenggelam ternyata timbul-tenggelamnya abadi. 

Perhatian, bahkan obsesi, kepada suatu proses visual, pantas diharapkan dari seorang Usmar Isma’il, yang menduduki posisi sosial historis sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Kemudian “terbukti”, bila pada masa kini dapat dinyatakan bersama, betapa dari tahun ke tahun lagu “Citra” dikumandangkan dalam penyerahan Piala Citra bagi Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia, bahwa syair lagu “Citra” itu adalah puitisasi dari konsep Usmar Isma’il bagi media film itu sendiri.

Adalah karena film itu media, maka yang “hanya bayangan” (potret, peran, dll) bisa abadi. Jadi romantika kehidupan yang direkamnya memang timbul tenggelam, seperti kehidupan itu sendiri, tetapi rekaman itulah yang abadi sebagai dokumen sosial historis—meskipun cara memandangnya itulah yang seharusnya berproses. 

Jika tidak, sang pemandang bisa jadi konyol. Saya pernah terpukau oleh penampilan seorang aktris dari sebuah film produksi tahun 1964, ketika menontonnya tahun 1993, dan langsung angkat telepon sebagai wartawan yang seolah-olah menemukan idola baru. Tentu saja saya “langsung insyaf”, mendengar suara yang keluar dari kerongkongan di sebelah sana adalah suara yang 29 tahun lebih tua …

Adapun “kesalahan teoretis” yang saya lakukan tentu saja ada dua.

Pertama, media film itu merekam dengan presisi tinggi apapun yang berada di depan kamera, sehingga dapat dijamin terdapatnya penggambaran kembali yang tak terlalu jauh jaraknya dari “kenyataan”—tetapi yang berlangsung 29 tahun lalu; 

Kedua, bahwa “kenyataan” itu adalah kenyataan-filmis yang merupakan konstruksi media, dan tiada lain selain konstruksi sahaja. Dalam sebuah film, kamera (sudut pandang yang menampakkan tokoh dengan tujuan tertentu), skenario (peran yang terarahkan demi tujuan tertentu), montase (gambar-gambar disusun sesuai tujuan tertentu), efek suara dan musik (mengarahkan secara definitif suasana demi tujuan tertentu), dan tentu saja penyutradaraan itu sendiri (director = pengarah), barulah sebagian dari instrumen yang digunakan bagi suatu “konstruksi kenyataan”—semuanya demi tujuan tertentu.

Artinya, jika saya menghubungi seorang aktris pada hari ini, meskipun berdasarkan apa yang saya lihat dari sebuah film yang dibintanginya hari ini juga, tetap saja saya terjebak dalam kebersalahan juga.

Ini berlaku tak hanya dalam konteks film cerita, karena setiap teks pencitraan, visual maupun non-visual, dengan instrumen masing-masing, betapapun adalah “sebuah film” juga, yakni konstruksi sebuah pencitraan belaka. Jika seorang Marlene Dietrich memiliki seorang juru foto khusus untuk potret-potret publikasinya, agar tampil mirip seperti peran-perannya dalam film; dan seorang Greta Garbo sejak usia 36 menolak dipotret, menolak main film, bahkan menolak tampil di depan publik secara terbuka, agar citra dirinya bagi orang banyak berhenti pada kecantikan dahsyatnya sampai usia itu saja, tentu jelas terandaikan betapa citra konstruksi media itu diharapkan untuk diterima sebagai sahih.

Strategi yang sama sebetulnya juga dilakukan dari bidang bisnis sampai politik, dari kelas kambing sampai kelas korporasi multinasional. Bukankah para calon presiden mau tak mau harus jadi “bintang film” dalam “film iklan” tentang diri mereka sendiri? 

Repotnya, jika iklan sikat gigi, meskipun mengandalkan “ilmuwan” berbaju putih, tetap resminya adalah iklan dan bukan hasil penelitian ilmiah, maka “film iklan” di televisi tentang calon presiden itu sangat ambigu: ketika diharapkan untuk diterima dalam moral “menunjukkan kenyataan sesungguhnya”, tetap digarap dalam strategi “seolah-olah kenyataan sesungguhnya”, dengan segala penanda (salaman dengan nelayan dll) yang justru menunjuk pernyataan “bukan kenyataan sesungguhnya”. Ambiguitasnya: ingin diterima sebagai sosoknya yang “sejati”, tetapi terjauhkan dari yang “sejati” itu sendiri. 

Namun karena tiada alternatif kenyataan lain selain kuasa media dalam kehidupan urban, jelaslah apa yang menjadi ironi masa kini: media dan hanya media yang menjadi tolok ukur dalam pengalaman kenyataan hidup sehari-hari, yang ternyata hanyalah suatu citra, alias bayangan sahaja …